REJEKI TAK PERNAH SALAH ALAMAT

“Tih, kemaren kan hari Kamis, Tih. Nah, abis kamis hari apa, Tih?” tanyaku pada Fatih Zuhdi, tiga tahunku yang selalu setia di samping kiriku kala aku mengemudi.

“Jumat,” katanya bangga karena bisa menjawab. Tentu saja dia tahu jawabnya setelah spontan menyanyikan lagu “Nama-nama Hari”  dengan suaranya yang bening nan nyaring itu :).

 “Jumat berarti hari nasi buuuung...?” tanyaku lagi.

“KUUUUS!” jawab Fatih dan Hani penuh semangat.

Tiap hari Jumat, aku dan anak-anak biasanya membeli sebungkus nasi berlauk pauk istimewa untuk dihadiahkan pada seseorang. Sama sekali bukan bermaksud membatasi infak hanya hari Jumat, atau memberi hanya sebatas sebungkus nasi saja, tentu. Aku hanya ingin membiasakan anak-anak belajar beramal yang sederhana, tapi rutin dan langgeng, insya Allah.

Oya, paginya, bada Sholat Dhuha pun anak-anak kupangku dan kuajari berdoa, “Ya Allah, jadikan kami jalan rejeki untuk hambaMu yang lain.” Doa yang langsung diaminkan Fatih sambil berkomat-kamit menengadahkan tangan. Hehe, sebelumnya kami sudah minta rejeki sama Allah untuk kami sendiri;).

“Bilang sama Allah ya Tih,” kataku sambil melirik Fatih geli. Soalnya gaya berdoanya serius sekali sih. “Rejeki buat ambu yang banyaaaak ya Allah, dan barokaaah. Amin, amin, amiiin.” Dan langsung ditirukannya doaku kata demi kata. Hani, sudah sedari tadi melompat dari pangkuanku, hehe. Kudengar suaranya bermain di halaman.

Jadilah siang itu kami bertiga menuju rumah makan BUNUT asli SUKABUMI. Lauk pauknya prasmanan, aneka ragam menggiurkan lidah. Kami pilih lauk yang serba enak, supaya ketika sang penerima membuka bungkusan nasi itu, selera makannya langsung berkobar, hehe.

Nah, kali ini, kepada siapa nasi bungkus lezat ini kami berikan ya?

“Hani, Fatih, kalau melihat orang yang kira-kira sedang lapar, tolong kasih tahu Ambu ya?”. Aku sebetulnya hanya bercanda, bagaimana bisa tahu seseorang itu lapar atau tidak dengan hanya melihatnya dari dalam mobil? Biasanya kami memberikan nasi itu pada pemulung, bapak penarik gerobak sampah, dan lain sebagainya.

“Itu Mbu, kakak-kakak pada lapar,” kata Fatih sambil menuju beberapa anak berseragam SMA yang sedang membeli bakso.

Kulirik Fatih sambil nyengir.. “Kakak-kakak kan pada laper, makanya beli bakso,” katanya Fatih lagi.

 “Ye, Fatih, maksud Ambu bukan itu kaleee, hehe...”

****

Waktu terus berlalu, kami belum menemukan seseorang yang sekiranya akan senang menerima nasi bungkus dari anak-anakku. Padahal hari semakin siang, aku harus pulang untuk sholat Zuhur.

“Nak, nanti saja ya kita putar-putar lagi. Sekarang pulang dulu, Ambu harus sholat.” Hani dan Fatih sebenarnya agak kecewa. Tapi bagaimana lagi. Aku jadi teringat kata-kata teman fb-ku vienna alifa yang bermukim di Australia. Menurutnya, di sana susah bersedekah karena semua orang tak mampu jadi tanggungan negara. “Hmm, sebetulnya kami yang lebih butuh mereka ya Rabb, bukan hanya kaum papa yang membutuhkan kami,” bisik hatiku.

Usai sholat. Hujan mengguyur tanah Bogor dengan derasnya. “Sabar ya Han, Tiih... hujan lebat begini, mana mungkin ada orang di jalan.. buat dikasih makan siang sama hani dan fatih? Ya kan?”. Hmm,  Alhamdulillah lauk yang kubeli tadi hanya yang kering-kering, insya Allah sampai sore nanti kondisinya masih bagus.

Anak-anak mengangguk.

Sore tiba. Aku harus pergi menengok proyek renovasi rumah yang sedang dalam tanggung jawabku. Anak-anak tidak ikut. Sore hari kalau tidak hujan, Hani Fatih selalu asyik bermain sepeda bersama anak-anak tetangga.

Jalanan masih sepi usai hujan deras. Sebungkus nasi tak bertuan masih tergeletak di jok depan mobil.

Aku sudah sampai. Kulihat seorang nenek, seorang ibu muda dan seorang anak kecil, ketiganya berwajah bahagia, terbungkuk-bungkuk mengumpulkan papan-papan bekas cor di depan rumah yang sedang kurenovasi.

Dari balik mobil mataku meneropong mereka. Sang nenek mengikat papan-papan bekas itu dengan tali. Kumatikan mesin, melangkah ke arah mereka bertiga.

“Nek, kayunya buat apa?” tanyaku padanya.

Beliau mendongak. Mata nan bahagia itu menatapku. “Buat masak neng, kayu-kayu ini buat masak. Ibu ngga punya kompor.”

Allah, sebuah rumah di perumahan ini bernilai minimal 350 jutaan dan di dekat sini masih ada sebuah keluarga yang memasak dengan kayu bakar? Ampuni hamba, Rabbi.

Kuambil uang dari dompet. Kuraih tangannya, “Ini buat Nenek, ya.” Lalu kupegang juga tangan sang ibu muda disampingnya, “Mbak juga dapat,” kataku padanya, “Ini buat Mbak, diterima yaa..”

Tapi, hmm... kutatap anak kecil di samping ibu muda tersebut. “Untuk adek, apa ya?” kataku padanya sambil tersenyum dan memutar otak. Dia menatapku harap-harap cemas.

Mataku berkejap, air bening berdesakan ingin keluar. Allah, sebungkus nasi berlauk istimewa yang sedari tadi siang belum bertuan... tentu saja adik manis inilah pemiliknya!

Bergegas kuambil bungkusan itu di mobil dan kuberikan padanya. Barakallah.Barakallah.Barakallah.

Setiap rejeki dariNya tak akan salah alamat, bahkan sebutir nasi pun sudah tercatat akan menjadi rejeki hambaNya yang mana.

Tapi, bukankah keluarga tadi menjemput rejeki dariNya ketika mereka sedang mengumpulkan kayu? Akankah kami bertemu jika mereka hanya berleha-leha di rumah saja?

Sahabat, mari kita menjemput rejeki. Mari bergerak, bekerja keras, bekerja cerdas, dengan hati yang tetap tenang, ridho dan ikhlas. Yakinlah, rejeki kita tidak akan saling tertukar.

Rabbi, berikan kami rejeki yang halal dan barokah, yang menjadikan keluarga kami sakiinah, yang menjadikan anak-anak kami sehat dan sholih. Rabbi, mudahkan kami menjadi jalan rejekiMu, bagi hambaMu yang membutuhkan. Amin. Amin ya Rabbal Aalamiin.


Salaam,
Galuh Chrysanti.





*share dr notes fb Galuh Chrysanti 
dikirim oleh sahabat Dian Rahayu Nugraheni
Pelaksana pada Sekretariat Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan

0 komentar:



Posting Komentar

Tinggalkan jejak sahabat disini ya...