Cibuyutan, Sebuah Kampung (bukan) di Negeri Dongeng (part 2)

Assalamu'alaykum wr wb Sahabat... :)

Setelah beberapa hari menunggu, tentunya sahabat sudah tidak sabar kan menanti kelanjutan cerita bakti sosial di kampung Cibuyutan..? :) Kalo lupa atau belum baca, silakan baca bagian pertamanya dulu disini. selanjutnya di posting kali ini kami akan melanjutkan ceritanya. Postingan kali ini ditulis dan dikisahkan langsung oleh salah seorang personil Zhafira yang ikut serta menajdi relawan ke kampung Cibuyutan. Berhubung tulisannya sedikit panjang, kami memutuskan untuk di split lagi..Jadilah cerita kegiatan ini menjadi 3 seri..Biar ga semakin penasaran, monggo langsung dibaca kisahnya :)


Malam mulai pekat menggulita ketika starter si merah mulai memberisiki halaman rumah. Hembus angin menelusup ke celah-celah badan yang tak sempurna dibungkus jaket, seiring dengan perputaran roda yang melaju tak seberapa cepat. Dingin. Tapi tak lebih dingin dari segaris risau yang telah membeku menjadi bongkahan es yang menggelayut langit hati. Kepergiannya kali ini terasa sangat berat. Hasil pertarungan logika dan hati, yang keduanya tidak memberikan alasan untuk tetap pergi. Suami yang tidak bisa membersamai, rekan-rekan satu tim yang berhalangan karena amanah lain yang jauh lebih krusial telah menanti, agenda wajib pekanan yang terpaksa ia harus membolos lagi untuk yang kesekian kali. Belum lagi, ia sama sekali tak mengenal dengan baik satu pun dari orang-orang yang akan menjadi teman seperjalanannya nanti, kondisi tempat tujuan yang belum mampu sempurna ia bayangkan, terlebih bahkan ia tidak tahu lokasi rumah yang hendak ia singgahi malam ini.
Namun ada dorongan kuat dari hatinya yang tak mampu ia tampik. Seperti cercah kecil cahaya keyakinan yang tak berhasil ia padamkan dengan alasan-alasan kebenaran dan pembenaran yang ia ajukan dari sejak semalam sebelum ini. Hanya dengan bekal itu ia memutuskan untuk tetap pergi, sembari menghiba agar Dia memberikan Ridha-Nya dan bukan murka-Nya. Menjadikan kepergiannya itu sebagai ladang penebar kemanfaatan dan bukan pembawa kemudharatan. Atasnya, dan atas orang-orang yang dicintainya. Atas orang-orang yang ia tinggalkan, dan atas orang-orang yang ia tuju. Bismillah bi idznillah..
Jam menunjuk angka sepuluh ketika motor itu berhenti di depan sebuah rumah apik yang telah ramai dengan manusia-manusia antah berantah yang tak dikenalnya. Menjadi seorang asing dan terasing , kini tak lagi menjadi beban pikirannya. Toh mereka disatukan dengan ikatan kuat melebihi kentalnya darah, ikatan akidah. Sekulum senyum, sebaris salam sapa, dan sejabatan hangat tangan-tangan wanita yang ada di sana, menggugurkan semua aura negatif yang ia bawa. Lega. Menuansakan ceria. Alhamdulillah..
Mereka pun berkerumun dalam percakapan rencana kegiatan esok hari sembari menunggu arahan untuk briefing. Karena banyaknya barang yang harus dipacking, briefing malam pun mundur lama. Hampir lewat tengah malam, padahal mereka harus bangun jam dua. Lelah, tapi tak ada yang merasa terpaksa. Menguras tenaga, tapi tak ada keluhan yang keluar dari lisan mereka. Semangat mereka telah melampaui kemampuan fisik. Energi kebaikan yang mereka pancarkan telah memenuhi setiap ruang dalam petak rumah Pak Anis malam itu. Dan akhirnya beberapa manusia termasuk wanita itu sebentarpun tak memejamkan matanya. Terlampau banyak yang harus disiapkan sedang waktu terus mendetak mendekati rencana keberangkatan. Ada yang menyiapkan bekal konsumsi untuk mereka selama di lokasi: mengiris buncis, wortel, tempe, mengungkep ayam, menggoreng tempe, membuat rendang dll. Ada yang memfiksasi rundown dan menyiapkan kelengkapan untuk panitia. Dan beberapa ikhwan masih sibuk menata ulang barang-barang bantuan.
Lewat pukul tiga semuanya baru selesai. Mereka pun berarak segera beranjak menuju  lokasi baksos. Kampung Cibuyutan. Beberapa mengendarai mobil dan beberapa lainnya mengendarai sepeda motor. Waktu dhuha mulai meninggi ketika mereka sampai di basecamp awal yaitu di sebuah Pondok Pesantren sederhana. Di sini mobil-mobil diparkir karena jalanan masih cukup lebar. Setelah melepas lelah sebentar dan memuaskan keperluan yang berhubungan dengan air –karena di kampung Cibuyutan konon katanya air bersih itu adalah barang langka-, mereka pun memulai misi mereka.

Banyak sekali barang bantuan yang harus mereka bawa: Karpet, al-Quran, mukena, buku-buku cetak untuk madrasah, baju/tas/sepatu layak pakai, baju seragam stelan untuk anak-anak, dan paket tas sekolah. Masing-masing orang yang berjalan mendapatkan jatah menggotong satu paket bantuan semampu mereka. Sedangkan yang  nekat berkendara motor menyusuri jalanan cadas off road cibuyutan, dipersilakan membawa beban yang lebih berat dan banyak. Dan wanita itu pun segera meraih sebuah bungkusan hitam yang teronggok, tanpa menilik dulu apa yang ada didalamnya. Beratnya sedang. Dan ia merasa mampu membawanya tanpa kepayahan yang berlebihan. Pikirnya semula.



Awal perjalanan semua nampak bersemangat, bergembira, dan sangat menikmati perjalanan mereka. Jalanan masih landai walaupun tetap harus berhati-hati karena berupa bebatuan yang terlihat seperti gigi-gigi yang menyeringai, yang siap merobek sesiapa yang tergelincir di atasnya. Namun siapa yang peduli dengan ancaman itu, ketika mata dimanjakan dengan pemandangan yang sungguh indah. Sawah berpadi hijau kekuningan menghampar sejauh mata memandang. Bukit-bukit hijau bersusun nampak di ujung jauh muara jalan. Mentari dhuha membagi hangatnya ditemani semilir angin yang membelai manja. Sungai berbatu dengan gemericik air yang mengalir diantara celah-celahnya. Sempurna.





Tapi satu jam kemudian semuanya tak lagi sama. Pemandangan seindah itu sudah tak lagi mampu terekam di lensa mata. Bukan karena pemandangannya yang menurun tingkat keindahannya, namun persepsi diri si pemilik mata yang tak lagi mampu menikmatinya. Terkalahkan oleh payah yang semakin menjajah. Belasan kilo yang telah terlewat. Jalanan yang semakin konsisten mantap menanjak. Matahari siang yang menggelorakan panas utuh sedang tak ada pepohon rindang sepanjang jalan sebagai tempat berteduh. Tangan, pinggang, serta kaki yang kebas karena barang bawaan yang semakin jauh dibawa berjalan, seolah beratnya semakin berlipat dengan cepat.
Keringat membanjir disekujur tubuh manusia-manusia itu. Tak ada lagi yang nampak berjalan bergerombol, karena ritme jalannya sudah tak lagi sama. Mereka masing-masing berjuang atas diri mereka dan apa yang mereka bawa. Tak ada lagi gurauan dan obrolan, yang ada tinggalah dengus-dengus nafas tak beraturan. Disana sini sepanjang jalan setapak, nampak spesies-spesies itu berserakan mengatur dan mengukur kemampuan diri agar tak kehabisan energi sebelum sampai tempat tujuan nanti.
Dan wanita itu pun mulai terhuyung. Matanya pedas karena keringat yang menetes masuk ke dalamnya. Baju dan jilbabnya telah basah oleh keringat. Kantung hitam yang dibawanya sudah tidak berbentuk. Sobek tak beraturan dengan cairan licin berbau pekat yang merembes membasahi bajunya dan melebar ke jaket serta roknya. Yang semakin menyulitkannya, karena ia kini tak tau mesti memegang bungkusan itu dengan cara seperti apa karena saking licinnya. Dia hanya memandangi bawaannya sambil mengatur detak jantungnya yang seperti mau copot dari tempatnya karena saking cepatnya berdenyut. Dia beruntung membawa kantung itu. Yang isinya baru ia ketahui setelah bajunya terlumuri. Rendang. Ya rendang seberat 8-9 kilo saja.
Ingin menyerah di situ sebenarnya. Ia sudah tak merasai tubuhnya. Kebas semuanya. Apalagi setelah tahu bahwa dia baru melewati sepertiga jarak dari yang seharusnya. Belum lagi jalanan di depan yang semakin bertambah tinggi tingkat kemiringannya. Hfffhh,, tapi tak boleh menyerah sekarang. Dia sudah memutus untuk membawa itu dan dia harus menerima segala resiko dari apa yang diputusnya. Harus sampe finish. Apapun yang terjadi. Fighting!
Diapun kembali berjalan, sedang kelebat Asma’ binti Abu Bakr terus memompa semangatnya. Bagaimana ia setiap hari mengantar makanan untuk Ayahanda dan manusia termulia di Gua Tsur saat bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy dalam rangka hijrah. Perjalanan yang tidak main-main. Medan padang pasir yang sulit ditaklukkan, jarak yang sedemikian jauh, serta ancaman pembunuhan apabila misinya terendus para penyembah berhala. Ditambah lagi pada saat itu beliau sedang hamil besar. Subhanallah.. Malulah wanita itu jika menyerah segampang itu, sedang apa yang dia rasai sekarang pastilah belum ada apa-apanya dengan apa yang harus ditanggung oleh wanita pemilik dua sabuk surga. Maka ia mencoba terus melangkah dengan hati yang senantiasa membisik mengiba: laa haula wa laa quwwata illaa billaah..laa haula wa laa quwwata illaa billaah.. walaupun tetap saja setiap baru berjalan lima, enam, atau tujuh langkah ia mesti berhenti untuk kembali mengatur nafas.
Setelah seolah-olah ia merasa sudah mau mati kecapean, akhirnya sampai juga ia di pos satu. Setengah jalan menuju kampung dongeng Cibuyutan. Jangan bayangkan pos satu ini adalah sebuah tenda atau bangunan yang ada fasilitas kamar mandi, isi ulang air minum, atau tempat tidur. Ia hanyalah sebuah tanah landai di samping jurang, yang dirindangi oleh pepohonan sehingga sengat surya tak sampai mencabik tanahnya. Tapi bagi para musafir dongeng, tempat itu merupakan sebuah ‘surga kecil’ yang Allah anugerahkan bagi mereka. Pemandangan indah terhampar di lembah depan mereka. Angin berkejar-kejaran, menggesek helai-helai daun yang memunculkan simponi biola alam. Subhanallah, tempat melepas lelah yang sempurna. Mengisi kembali paru-paru yang tadinya seperti sudah kempes tanpa udara. Ingin sekali berlama-lama di sana, seandainya mereka tidak ingat masih separuh jalan lagi menuju tempat menanam bibit cinta mereka. Harus segera beranjak, sebelum syetan-syetan memberati mata dengan kantuk yang tak tertahan yang akan menjadi penghambat perjalanan. Mereka pun kembali berjalan. Dengan semangat yang mulai memercik lagi baranya. Selamat tinggal surga dunia, kami akan menapak lelah lagi demi untuk Surga-Nya.


Singkat kata, sampailah juga para pengembara cinta itu pada kampung tujuannya. Wajah-wajah yang tadinya pucat kumal dibakar matahari, mulai menunjukkan geliat kehidupannya. Seulas senyum tersungging manis di bibir-bibir pecah mereka. Akhirnya, perjuangan panjang dan melelahkan itu terbayar. Bocah-bocah dengan mata yang meletupkan semangat dan keingintahuan atas orang-orang asing yang terdampar itu, menyambut  berjejalan di sebuah gubuk yang mereka sebut dengan ‘madrasah’. Yang insyaAllah tak seberapa lama lagi sebutan madrasah itu akan berpindah pada bangunan yang lebih layak, yang berdiri atas ijin Allah melalui perantara tangan-tangan penuh kasih yang ringan terulur untuk saudara-Saudaranya yang berkekurangan. Alhamdulillah..
 To be continued...

 Sekian dulu postingan seri kedua ini..Kelanjutannya silakan tunggu pada postingan part III.. :))
Wassalamu'alaykum wr wb

0 komentar:



Posting Komentar

Tinggalkan jejak sahabat disini ya...