Cibuyutan, Sebuah Kampung (bukan) di Negeri Dongeng (part 3)

Assalamu'alaykum Wr Wb..
Sahabat, penasaran kan dengan kelanjutan kisahnya...Yuk, monggo lanjut saja dibaca..Eh, yang belum membaca dari awal, silakan baca dulu part I dan part II nya ya... :))


Setelah berbincang dan bercanda sejenak dengan anak-anak yang ternyata bahasanya Sunda pisan euy, masing-masing dari mereka segera menempatkan posisi sesuai dengan pembagian tugas. Para muslimah basecampnya di salah satu rumah penduduk sedang yang pria di Mushalla.

Melihat lantai papan yang terhampar sebegitu pasrahnya, seperti mengajak tubuh-tubuh kelelahan itu untuk sejenak berbaring meluruskan tulang punggungnya. Rayuan itu seperti panah-panah syetan yang siap menembus dada orang-orang beriman. Namun, mereka datang jauh-jauh ke sana bukan untuk tidur. Mereka datang untuk bekerja. Berbagi cinta.
Maka setelah menaruh tas-tas pribadi, mereka kembali lagi ke madrasah untuk mengeksekusi kegiatan: bermain bersama anak-anak dan dilanjutkan dengan pembagian bingkisan untuk mereka. Buku-buku cetak, tas-tas lucu yang berisi alat tulis, dan stelan baju muslim. Terbayang betapa riuh, berisik, dan gembiranya mereka.
Jiwa wanita itu ingin sekali bisa ikut dalam momen itu, melihat tingkah polah polos bocah-bocah selalu saja menarik bagi dirinya. Atau minimal bisa menjadi penikmat dengan mengambil foto-foto tawa lepas mereka. Tapi asas kemanfaatan telah memandulkan keinginan itu. Di basecamp tinggal beberapa gelintir orang yang harus menyiapkan makan siang panitia dan makan malam panitia-warga. Kebayang betapa repotnya. Tangan mereka tidak mungkin cukup berkejaran dengan waktu dengan sekian banyaknya hal yang harus mereka lakukan. Mengupas bumbu-bumbuan, memotongnya, menghangatkan rendang, menggoreng ayam, menggoreng tempe, membuat tumis sayuran, membuat pecel dll.
Wanita itu pun mulanya hanya membantu mengupas dan memotong bumbu-bumbu, pelajaran paling dasar memasak yang baru dia kuasai. Namun ketika tim konsumsi semuanya sibuk membungkus makan siang panitia , mengejar waktu karena sudah jam 2-an, tiba-tiba saja ada kesepakatan tanpa rapat yang membuat wanita itu harus menepuk berkali-kali jidatnya karena kebingungan. Teramanahkanlah pekerjaan paling mudah untuk para wanita, sedang hal itu terasa sangat menakutkan untuk satu wanita itu: membuat tumis buncis-wortel untuk 120 orang. What?!! Masak untuk suami saja wanita itu belum pernah, bagaimana masak perdananya langsung akan ‘dinikmati’ sekian banyak orang? Bagaimana kalau tidak enak? Lebih parah lagi, bagaimana kalau malah bikin keracunan? Sepertinya tidak keren jika keesokan paginya headline koran-koran bertuliskan: gegara belajar memasak, 120 orang dirawat inap. Duh Gusti..
Segala rayuan untuk menukar amanah, coba diterapkan. Hasilnya nihil. Karena setiap orang merasa pekerjaan itu sangat mudah. Sambil tidur juga bisa. Begitu mungkin pikir mereka. Akhirnya, wanita itu memantapkan dirinya. Toh masih bisa nanya-nanya. Iya kah?!
Mbak bumbunya apa saja? Jumlahnya seberapa? Perlu pakai ini tidak? Perlu pakai itu tidak? Dan serentetan pertanyaan lain yang kesemuanya dijawab berulang dengan satu kata sakti: terserah. Dan akhirnya wanita itu berjuang sendirian bereksperimen dengan berbagai bumbu yang entah nyambung entah tidak. Dia juga juga sudah punya jawaban terkait hasilnya nanti: terserah. Tapi untungnya ada mbak-mbak yang membantu mengaduk-aduk dan bisa dijadikan target percobaan, alhamdulillah hasilnya tidak terlalu mengecewakan untuk seseorang yang bergelar amatiran. Setelah itu dilanjut dengan menggoreng ayam dan membuat pecel. Cincailah, batin si wanita yang sudah mulai bisa membangun kepercayaan dirinya di dunia asing perdapuran.

Akhirnya selepas maghrib selesai juga tim konsumsi menyiapkan makan malam untuk warga dan panitia, yang akan dibagi pada saat menonton layar tancep bersama.

Ternyata jumlah warga yang hadir pada malam harinya membeludak. Gelap malam tanpa lampu-lampu tidak menyurutkan langkah mereka untuk menonton Film Serdadu Kumbang yang sudah disiapkan panitia. Seringkali terdengar koor suara terbahak dari para penduduk melihat kepingan adegan lucu yang menggelitik simpul saraf tawa mereka. Riuh rendah. Semarak. Mengusir jejak kabut dingin malam yang mulai datang menyapa kampung tanpa penerangan itu.
Paginya mereka sudah mulai packing semenjak sebelum shubuh. Karena sebagaimana rencana awal, sebelum jam 7 mereka harus sudah mulai mengulang rute untuk kembali ke Jakarta tercinta. Namun wanita itu masih punya satu PR amanah. Seratus sepuluh amplop uang zakat dan shadaqah yang dititipkan ke Circle of Love yang masih belum mendapatkan momen untuk membaginya. Tidak bisa dibarengkan dengan penyerahan baju layak pakai sebagaimana sore kemarin telah dilakukan. Karena amanah uang zakat ini spesifik hanya untuk 8 golongan mustahiq saja. Maka setelah minta izin pada koordinator acara agar sedikit ‘memolorkan’ waktu keberangkatan, kemudian menculik satu bocah yang bisa dikuras energinya, maka segera beraksilah ia.
Jarak rumah yang agak berjauhan dengan medan yang naik turun agak sedikit mengurangi kecepatan gerak mereka. Belum lagi rumah-rumah yang hampir sama modelnya, kadang membuat bingung ini tadi sudah apa belum? Mereka nampak seperti Zorro dalam cerita bualan, atau mungkin malah seperti maling kesiangan. Apa pasal? Banyak rumah yang penghuninya sudah dari pagi-pagi pergi mencari nafkah, sehingga amanah uang itu harus diselipkan di bawah pintu. Di tempat yang kira-kira saat pintu dibuka langsung terlihat oleh si empunya. Sehingga pose-pose ‘pengintipan’ bawah pintu menjadi pemandangan utama. Tentu saja selain wajah-wajah bahagia warga Cibuyutan yang merasa mendapatkan dekapan kasih dari para muzakki, manusia-manusia asing yang tak dikenalnya, namun kebaikan hatinya sampai di tangan mereka.




Dan setelah lelah berkeliling dan waktu semakin mendekati batas akhir, maka mereka memutuskan menyudahi aksi. Masih ada 19 amplop yang belum terdistribusi. Namun fleksibel, karena dari sejumlah itu tinggal dari uang shadaqah. Yang uang hasil zakat, Alhamdulillah sudah lunas habis terbagi.
Dan kini saatnya, pulaaannngggg…
Pengalaman yang sungguh menakjubkan. Tim yang profesional. Teman-teman yang bisa mengikis ego demi sebuah kemaslahatan. Dan sebuah kampung yang seharusnya hanya ada di dongeng-dongeng khayalan. Terima kasih semuanya.. Semoga kita bisa berjumpa dan bergabung pada misi-misi kemanusiaan selanjutnya… ^^




end

Sekian kisah dari kampung Cibuyutan. Kami mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada seluruh pihak yang telah membantu. Jazakumullah khairan katsiro..


Wassalamu'alaykum wr wb






* ditulis oleh Rita Lestari
Staf Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan

0 komentar:



Posting Komentar

Tinggalkan jejak sahabat disini ya...