Assalamu'alaykum wr wb Sahabat... :)
Setelah beberapa hari menunggu, tentunya sahabat sudah tidak sabar kan menanti kelanjutan cerita bakti sosial di kampung Cibuyutan..? :) Kalo lupa atau belum baca, silakan baca bagian pertamanya dulu disini. selanjutnya di posting kali ini kami akan melanjutkan ceritanya. Postingan kali ini ditulis dan dikisahkan langsung oleh salah seorang personil Zhafira yang ikut serta menajdi relawan ke kampung Cibuyutan. Berhubung tulisannya sedikit panjang, kami memutuskan untuk di split lagi..Jadilah cerita kegiatan ini menjadi 3 seri..Biar ga semakin penasaran, monggo langsung dibaca kisahnya :)
Malam mulai pekat
menggulita ketika starter si merah mulai memberisiki halaman rumah. Hembus
angin menelusup ke celah-celah badan yang tak sempurna dibungkus jaket, seiring dengan perputaran
roda yang melaju tak seberapa cepat. Dingin. Tapi tak lebih dingin dari segaris
risau yang telah membeku menjadi bongkahan es yang menggelayut langit
hati. Kepergiannya kali ini terasa sangat berat. Hasil pertarungan logika dan
hati, yang keduanya tidak
memberikan alasan untuk tetap pergi. Suami yang tidak bisa membersamai,
rekan-rekan satu tim yang berhalangan karena amanah lain yang jauh lebih
krusial telah menanti, agenda wajib pekanan yang terpaksa ia harus membolos lagi untuk yang kesekian kali. Belum
lagi, ia sama sekali tak mengenal
dengan baik satu pun dari orang-orang
yang akan menjadi teman seperjalanannya nanti, kondisi tempat tujuan yang belum
mampu sempurna ia bayangkan,
terlebih bahkan ia tidak tahu lokasi rumah yang hendak ia singgahi malam ini.
Namun ada dorongan
kuat dari hatinya yang tak mampu ia tampik. Seperti cercah kecil cahaya
keyakinan yang tak berhasil ia padamkan dengan alasan-alasan kebenaran dan
pembenaran yang ia ajukan dari sejak semalam sebelum ini. Hanya dengan bekal
itu ia memutuskan untuk tetap pergi, sembari menghiba agar Dia memberikan
Ridha-Nya dan bukan murka-Nya. Menjadikan kepergiannya itu
sebagai ladang penebar kemanfaatan dan bukan pembawa kemudharatan. Atasnya, dan atas orang-orang yang
dicintainya. Atas orang-orang yang ia tinggalkan, dan atas orang-orang yang ia tuju. Bismillah
bi idznillah..
Jam
menunjuk angka sepuluh
ketika motor itu berhenti di depan sebuah rumah apik yang telah ramai dengan
manusia-manusia antah berantah yang tak dikenalnya. Menjadi seorang asing dan
terasing , kini tak lagi menjadi beban
pikirannya. Toh mereka disatukan dengan
ikatan kuat melebihi kentalnya darah, ikatan akidah. Sekulum
senyum, sebaris salam sapa, dan sejabatan hangat tangan-tangan wanita yang ada
di sana, menggugurkan semua aura negatif yang ia bawa. Lega. Menuansakan ceria.
Alhamdulillah..
Mereka
pun berkerumun dalam percakapan rencana kegiatan esok hari sembari menunggu
arahan untuk briefing. Karena banyaknya barang yang harus
dipacking, briefing malam pun mundur lama. Hampir lewat tengah malam, padahal
mereka harus bangun jam dua. Lelah, tapi tak ada yang merasa terpaksa. Menguras
tenaga, tapi tak ada keluhan yang keluar dari lisan mereka. Semangat mereka
telah melampaui kemampuan fisik. Energi kebaikan yang mereka
pancarkan telah memenuhi setiap ruang dalam petak rumah Pak Anis malam itu. Dan
akhirnya beberapa manusia termasuk wanita itu sebentarpun tak memejamkan
matanya. Terlampau banyak yang harus disiapkan sedang waktu terus mendetak
mendekati rencana keberangkatan. Ada yang menyiapkan bekal konsumsi untuk
mereka selama di lokasi:
mengiris buncis, wortel, tempe, mengungkep
ayam, menggoreng tempe, membuat rendang dll.
Ada yang memfiksasi rundown dan menyiapkan kelengkapan untuk panitia. Dan
beberapa ikhwan masih sibuk menata ulang barang-barang bantuan.
Lewat pukul tiga
semuanya baru selesai. Mereka pun berarak segera beranjak menuju lokasi baksos. Kampung Cibuyutan. Beberapa
mengendarai mobil dan beberapa lainnya mengendarai sepeda motor. Waktu dhuha
mulai meninggi ketika mereka sampai di basecamp awal yaitu di sebuah Pondok Pesantren sederhana. Di sini mobil-mobil diparkir karena jalanan masih
cukup lebar. Setelah
melepas lelah sebentar dan memuaskan keperluan yang berhubungan dengan air
–karena di kampung Cibuyutan konon katanya air bersih itu adalah barang
langka-, mereka pun memulai misi mereka.
Banyak
sekali barang bantuan yang harus mereka bawa: Karpet, al-Quran, mukena,
buku-buku cetak untuk madrasah, baju/tas/sepatu layak pakai, baju seragam
stelan untuk anak-anak, dan paket tas sekolah. Masing-masing
orang yang berjalan mendapatkan jatah menggotong satu paket bantuan semampu
mereka. Sedangkan yang nekat berkendara
motor menyusuri jalanan cadas off road cibuyutan, dipersilakan membawa beban yang lebih berat
dan banyak. Dan wanita itu pun segera meraih sebuah bungkusan hitam yang teronggok, tanpa menilik
dulu apa yang ada didalamnya. Beratnya sedang. Dan ia merasa mampu membawanya
tanpa kepayahan yang berlebihan. Pikirnya semula.
Awal perjalanan semua
nampak bersemangat, bergembira, dan sangat menikmati perjalanan mereka. Jalanan
masih landai walaupun tetap harus berhati-hati karena berupa bebatuan yang
terlihat seperti gigi-gigi yang menyeringai, yang siap merobek sesiapa yang
tergelincir di atasnya. Namun siapa yang peduli dengan ancaman itu, ketika mata
dimanjakan dengan pemandangan yang sungguh indah. Sawah berpadi hijau
kekuningan menghampar sejauh mata memandang. Bukit-bukit hijau bersusun nampak
di ujung jauh muara jalan. Mentari dhuha membagi hangatnya ditemani semilir
angin yang membelai manja. Sungai berbatu dengan gemericik air yang mengalir
diantara celah-celahnya. Sempurna.
Tapi satu jam kemudian semuanya tak lagi sama. Pemandangan seindah itu sudah tak lagi mampu terekam di lensa mata. Bukan karena pemandangannya yang menurun tingkat keindahannya, namun persepsi diri si pemilik mata yang tak lagi mampu menikmatinya. Terkalahkan oleh payah yang semakin menjajah. Belasan kilo yang telah terlewat. Jalanan yang semakin konsisten mantap menanjak. Matahari siang yang menggelorakan panas utuh sedang tak ada pepohon rindang sepanjang jalan sebagai tempat berteduh. Tangan, pinggang, serta kaki yang kebas karena barang bawaan yang semakin jauh dibawa berjalan, seolah beratnya semakin berlipat dengan cepat.
Keringat membanjir
disekujur tubuh manusia-manusia itu. Tak ada lagi yang nampak berjalan
bergerombol, karena ritme jalannya sudah tak lagi sama. Mereka masing-masing
berjuang atas diri mereka dan apa yang mereka bawa. Tak ada lagi gurauan dan
obrolan, yang ada tinggalah dengus-dengus nafas tak beraturan. Disana sini sepanjang jalan setapak, nampak spesies-spesies itu
berserakan mengatur dan mengukur kemampuan diri agar tak kehabisan energi
sebelum sampai tempat tujuan nanti.
Dan wanita itu pun
mulai terhuyung. Matanya pedas karena keringat yang menetes masuk ke dalamnya.
Baju dan jilbabnya telah basah oleh
keringat. Kantung hitam yang dibawanya sudah tidak berbentuk. Sobek tak
beraturan dengan cairan licin berbau pekat yang merembes membasahi bajunya dan
melebar ke jaket serta roknya. Yang semakin menyulitkannya, karena ia kini tak tau
mesti memegang bungkusan itu
dengan cara seperti apa karena saking licinnya. Dia hanya memandangi bawaannya
sambil mengatur detak jantungnya yang seperti mau copot dari tempatnya karena
saking cepatnya berdenyut. Dia beruntung membawa kantung itu. Yang isinya baru
ia ketahui setelah bajunya terlumuri. Rendang. Ya rendang seberat 8-9 kilo saja.
Ingin menyerah di
situ sebenarnya. Ia sudah tak merasai tubuhnya. Kebas semuanya. Apalagi setelah
tahu bahwa dia baru melewati sepertiga jarak dari yang seharusnya. Belum lagi jalanan di depan yang semakin bertambah tinggi
tingkat kemiringannya. Hfffhh,, tapi tak boleh menyerah sekarang. Dia sudah
memutus untuk membawa itu dan dia harus menerima segala resiko dari apa yang
diputusnya. Harus sampe finish. Apapun yang terjadi. Fighting!
Diapun kembali
berjalan, sedang kelebat Asma’ binti Abu
Bakr terus memompa semangatnya. Bagaimana ia setiap hari mengantar makanan
untuk Ayahanda dan manusia
termulia di Gua Tsur saat
bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy dalam rangka hijrah. Perjalanan yang
tidak main-main. Medan padang pasir yang sulit ditaklukkan, jarak yang
sedemikian jauh, serta ancaman pembunuhan apabila misinya terendus para
penyembah berhala. Ditambah lagi pada saat itu beliau sedang hamil besar.
Subhanallah.. Malulah wanita itu jika menyerah segampang itu, sedang apa yang
dia rasai sekarang pastilah belum ada apa-apanya dengan apa yang harus ditanggung oleh wanita
pemilik dua sabuk surga. Maka ia mencoba terus melangkah dengan hati yang
senantiasa membisik mengiba: laa haula wa laa quwwata illaa billaah..laa haula wa laa quwwata illaa
billaah.. walaupun tetap saja
setiap baru
berjalan lima, enam, atau tujuh langkah ia mesti berhenti untuk kembali mengatur nafas.
Setelah
seolah-olah ia merasa sudah mau mati kecapean, akhirnya sampai juga ia di pos
satu. Setengah jalan menuju kampung dongeng Cibuyutan. Jangan bayangkan pos
satu ini adalah sebuah tenda atau bangunan yang ada fasilitas kamar mandi, isi
ulang air minum, atau tempat tidur. Ia hanyalah sebuah tanah landai di samping
jurang, yang dirindangi oleh pepohonan sehingga sengat surya tak sampai
mencabik tanahnya. Tapi bagi para musafir dongeng, tempat itu merupakan sebuah
‘surga kecil’ yang Allah anugerahkan bagi mereka. Pemandangan indah terhampar
di lembah depan mereka. Angin berkejar-kejaran, menggesek helai-helai daun yang
memunculkan simponi biola alam. Subhanallah, tempat melepas lelah yang
sempurna. Mengisi kembali paru-paru yang tadinya seperti sudah kempes tanpa
udara. Ingin sekali berlama-lama di sana, seandainya mereka tidak ingat masih
separuh jalan lagi menuju tempat menanam bibit cinta mereka. Harus segera
beranjak, sebelum syetan-syetan memberati mata dengan kantuk yang tak tertahan
yang akan menjadi penghambat perjalanan. Mereka pun kembali berjalan. Dengan
semangat yang mulai memercik lagi baranya. Selamat
tinggal surga dunia, kami akan menapak lelah lagi demi untuk Surga-Nya.
Singkat
kata, sampailah juga para pengembara cinta itu pada kampung tujuannya. Wajah-wajah
yang tadinya pucat kumal dibakar matahari, mulai menunjukkan geliat
kehidupannya. Seulas senyum tersungging manis di bibir-bibir pecah mereka. Akhirnya,
perjuangan panjang dan melelahkan itu terbayar. Bocah-bocah dengan mata yang
meletupkan semangat dan keingintahuan atas orang-orang asing yang terdampar
itu, menyambut berjejalan di sebuah
gubuk yang mereka sebut dengan ‘madrasah’. Yang insyaAllah tak seberapa lama
lagi sebutan madrasah itu akan berpindah pada bangunan yang lebih layak, yang
berdiri atas ijin Allah melalui perantara tangan-tangan penuh kasih yang ringan
terulur untuk saudara-Saudaranya yang berkekurangan. Alhamdulillah..
To be continued...
Sekian dulu postingan seri kedua ini..Kelanjutannya silakan tunggu pada postingan part III.. :))
Wassalamu'alaykum wr wb
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sahabat disini ya...