Assalamu'alaykum Wr Wb..
Sahabat, penasaran kan dengan kelanjutan kisahnya...Yuk, monggo lanjut saja dibaca..Eh, yang belum membaca dari awal, silakan baca dulu part I dan part II nya ya... :))
Setelah berbincang dan bercanda sejenak dengan anak-anak yang ternyata bahasanya Sunda pisan euy, masing-masing dari mereka segera menempatkan posisi sesuai dengan pembagian tugas. Para muslimah basecampnya di salah satu rumah penduduk sedang yang pria di Mushalla.
Melihat
lantai papan yang terhampar sebegitu pasrahnya, seperti mengajak tubuh-tubuh
kelelahan itu untuk sejenak berbaring meluruskan tulang punggungnya. Rayuan itu
seperti panah-panah syetan yang siap menembus dada orang-orang beriman. Namun,
mereka datang jauh-jauh ke sana bukan untuk tidur. Mereka datang untuk bekerja.
Berbagi cinta.
Maka
setelah menaruh tas-tas pribadi, mereka kembali lagi ke madrasah untuk
mengeksekusi kegiatan: bermain bersama anak-anak dan dilanjutkan dengan
pembagian bingkisan untuk mereka. Buku-buku cetak, tas-tas lucu yang berisi
alat tulis, dan stelan baju muslim. Terbayang betapa riuh, berisik, dan
gembiranya mereka.
Jiwa
wanita itu ingin sekali bisa ikut dalam momen itu, melihat tingkah polah polos
bocah-bocah selalu saja menarik bagi dirinya. Atau minimal bisa menjadi
penikmat dengan mengambil foto-foto tawa lepas mereka. Tapi asas kemanfaatan
telah memandulkan keinginan itu. Di basecamp tinggal beberapa gelintir orang
yang harus menyiapkan makan siang panitia dan makan malam panitia-warga.
Kebayang betapa repotnya. Tangan mereka tidak mungkin cukup berkejaran dengan
waktu dengan sekian banyaknya hal yang harus mereka lakukan. Mengupas
bumbu-bumbuan, memotongnya, menghangatkan rendang, menggoreng ayam, menggoreng
tempe, membuat tumis sayuran, membuat pecel dll.
Wanita
itu pun mulanya hanya membantu mengupas dan memotong bumbu-bumbu, pelajaran
paling dasar memasak yang baru dia kuasai. Namun ketika tim konsumsi semuanya
sibuk membungkus makan siang panitia , mengejar waktu karena sudah jam 2-an,
tiba-tiba saja ada kesepakatan tanpa rapat yang membuat wanita itu harus menepuk
berkali-kali jidatnya karena kebingungan. Teramanahkanlah pekerjaan paling
mudah untuk para wanita, sedang hal itu terasa sangat menakutkan untuk satu wanita
itu: membuat tumis buncis-wortel untuk 120 orang. What?!! Masak untuk suami
saja wanita itu belum pernah, bagaimana masak perdananya langsung akan
‘dinikmati’ sekian banyak orang? Bagaimana kalau tidak enak? Lebih parah lagi,
bagaimana kalau malah bikin keracunan? Sepertinya tidak keren jika keesokan
paginya headline koran-koran bertuliskan: gegara belajar memasak, 120 orang
dirawat inap. Duh Gusti..
Segala
rayuan untuk menukar amanah, coba diterapkan. Hasilnya nihil. Karena setiap
orang merasa pekerjaan itu sangat mudah. Sambil tidur juga bisa. Begitu mungkin
pikir mereka. Akhirnya, wanita itu memantapkan dirinya. Toh masih bisa
nanya-nanya. Iya kah?!
Mbak
bumbunya apa saja? Jumlahnya seberapa? Perlu pakai ini tidak? Perlu pakai itu
tidak? Dan serentetan pertanyaan lain yang kesemuanya dijawab berulang dengan
satu kata sakti: terserah. Dan akhirnya wanita itu berjuang sendirian
bereksperimen dengan berbagai bumbu yang entah nyambung entah tidak. Dia juga
juga sudah punya jawaban terkait hasilnya nanti: terserah. Tapi untungnya ada
mbak-mbak yang membantu mengaduk-aduk dan bisa dijadikan target percobaan,
alhamdulillah hasilnya tidak terlalu mengecewakan untuk seseorang yang bergelar
amatiran. Setelah itu dilanjut dengan menggoreng ayam dan membuat pecel.
Cincailah, batin si wanita yang sudah mulai bisa membangun kepercayaan dirinya
di dunia asing perdapuran.
Akhirnya
selepas maghrib selesai juga tim konsumsi menyiapkan makan malam untuk warga
dan panitia, yang akan dibagi pada saat menonton layar tancep bersama.
Ternyata
jumlah warga yang hadir pada malam harinya membeludak. Gelap malam tanpa
lampu-lampu tidak menyurutkan langkah mereka untuk menonton Film Serdadu
Kumbang yang sudah disiapkan panitia. Seringkali terdengar koor suara terbahak
dari para penduduk melihat kepingan adegan lucu yang menggelitik simpul saraf
tawa mereka. Riuh rendah. Semarak. Mengusir jejak kabut dingin malam yang mulai
datang menyapa kampung tanpa penerangan itu.
Paginya
mereka sudah mulai packing semenjak sebelum shubuh. Karena sebagaimana rencana
awal, sebelum jam 7 mereka harus sudah mulai mengulang rute untuk kembali ke
Jakarta tercinta. Namun wanita itu masih punya satu PR amanah. Seratus sepuluh amplop
uang zakat dan shadaqah yang dititipkan ke Circle of Love yang masih belum
mendapatkan momen untuk membaginya. Tidak bisa dibarengkan dengan penyerahan
baju layak pakai sebagaimana sore kemarin telah dilakukan. Karena amanah uang
zakat ini spesifik hanya untuk 8 golongan mustahiq saja. Maka setelah minta
izin pada koordinator acara agar sedikit ‘memolorkan’ waktu keberangkatan,
kemudian menculik satu bocah yang bisa dikuras energinya, maka segera
beraksilah ia.
Jarak
rumah yang agak berjauhan dengan medan yang naik turun agak sedikit mengurangi
kecepatan gerak mereka. Belum lagi rumah-rumah yang hampir sama modelnya,
kadang membuat bingung ini tadi sudah apa belum? Mereka nampak seperti Zorro
dalam cerita bualan, atau mungkin malah seperti maling kesiangan. Apa pasal?
Banyak rumah yang penghuninya sudah dari pagi-pagi pergi mencari nafkah,
sehingga amanah uang itu harus diselipkan di bawah pintu. Di tempat yang kira-kira
saat pintu dibuka langsung terlihat oleh si empunya. Sehingga pose-pose
‘pengintipan’ bawah pintu menjadi pemandangan utama. Tentu saja selain
wajah-wajah bahagia warga Cibuyutan yang merasa mendapatkan dekapan kasih dari para
muzakki, manusia-manusia asing yang tak dikenalnya, namun kebaikan hatinya
sampai di tangan mereka.
Dan setelah lelah berkeliling dan waktu semakin mendekati batas akhir, maka mereka memutuskan menyudahi aksi. Masih ada 19 amplop yang belum terdistribusi. Namun fleksibel, karena dari sejumlah itu tinggal dari uang shadaqah. Yang uang hasil zakat, Alhamdulillah sudah lunas habis terbagi.
Dan
kini saatnya, pulaaannngggg…
Pengalaman
yang sungguh menakjubkan. Tim yang profesional. Teman-teman yang bisa mengikis
ego demi sebuah kemaslahatan. Dan sebuah kampung yang seharusnya hanya ada di
dongeng-dongeng khayalan. Terima kasih semuanya.. Semoga kita bisa berjumpa dan
bergabung pada misi-misi kemanusiaan selanjutnya… ^^
end
Sekian kisah dari kampung Cibuyutan. Kami mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada seluruh pihak yang telah membantu. Jazakumullah khairan katsiro..
Wassalamu'alaykum wr wb
* ditulis oleh Rita Lestari
Staf Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan jejak sahabat disini ya...